29 Oktober 2025 – Departemen Politik dan Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Diponegoro bekerjasama dengan FOKO (Forum Komunikasi Purnawirawan TNI-Polri) hari ini, Rabu (29/10), menyelenggarakan Diskusi Ilmiah dengan tema krusial: “Relasi Negara dan Agama, serta Toleransi Antar Umat Beragama: Meninjau Kembali UUD 1945”. Acara yang berlangsung di Ruang Sidang Senat FISIP Undip ini menghadirkan para pakar untuk mengkaji landasan konstitusional Indonesia.
Diskusi ini bertujuan untuk mengkaji kembali hubungan antara negara dan agama, serta pengaruhnya terhadap toleransi di tengah dinamika sosial-politik. Sebagaimana diangkat oleh moderator diskusi, Dra. Fitriyah, M.A., acara ini berupaya menjawab pertanyaan fundamental, “Apakah permasalahannya ada di implementasi atau dalam konstitusinya?”
Acara dibuka secara resmi oleh Dekan FISIP Universitas Diponegoro, Dr. Drs. Teguh Yuwono, M.Pol.Admin. Dalam sambutannya, beliau menekankan pentingnya dialog akademik untuk merawat kebangsaan. “Tema ini sangat relevan dan mendesak. Di tengah tantangan kebangsaan, pemahaman yang jernih mengenai amanat UUD 1945 terkait negara, agama, dan toleransi adalah kunci,” ujar Dr. Teguh Yuwono.
Keynote Speaker Letnan Jenderal (Purn.) TNI Bambang Darmono, Sekjen FOKO Purnawirawan TNI/Polri, menyoroti urgensi pengkajian ulang ini. Beliau menegaskan bahwa salah satu alasannya adalah karena belum adanya Ketetapan MPR yang secara spesifik mengatur tentang Toleransi Antar Umat Beragama pasca-amandemen.
“Kami mengusung pemikiran ini diawali tahun 2002. Yang paling bisa meluaskan pemikiran ini hanyalah kampus,” tegas Letjen (Purn) Bambang Darmono. “Pokok dasar Indonesia yaitu persatuan, maka jangan sampai perbedaan-perbedaan ini memengaruhi keberjalanan Indonesia. Walaupun di permukaan terlihat baik-baik saja, namun di balik itu banyak hal yang perlu diperhatikan.”
Panel diskusi menghadirkan pandangan mendalam dari tiga narasumber ahli. Reni Suwarso, Ph.D. dari Departemen Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia, menyoroti pentingnya mencermati perbedaan fundamental antara UUD 1945 asli dengan UUD NRI 1945 hasil amandemen. Ia juga menunjukkan data peningkatan intoleransi pasca-Reformasi 1998. “Ada kesenjangan antara yang dipikirkan oleh para elite dengan yang diharapkan oleh massa. Negara perlu mengambil langkah-langkah tegas dan sistematis, menyentuh ranah sistem, kebijakan, penegakan hukum dan edukasi sosial,” papar Reni.
Menanggapi hal tersebut, Dr. Muhammad Adnan, M.A. dari Departemen Politik dan Ilmu Pemerintahan FISIP Undip, memberikan pandangan bahwa amandemen yang telah dilakukan memang tidak sempurna. Ia berpendapat solusi yang lebih tepat mungkin bukan amandemen menyeluruh, melainkan adendum pada pasal krusial seperti Pasal 29 tentang agama. “Jika Pasal 29 itu diadakan adendum, harusnya lebih dipertegas dan diperjelas,” jelas Dr. Adnan.
Sementara itu, Prof. Dr. Ir. Sedarnawati Yasni, M. Agr. dari Institut Pertanian Bogor, memperluas diskusi ke ranah Hak Asasi Manusia (HAM) dan kewarganegaraan. Ia menyoroti tantangan implementasi HAM yang bersumber dari ketimpangan struktural dan politik identitas. “Penguatan konstitusionalitas menghendaki adanya harmonisasi antara hukum kewarganegaraan dan prinsip HAM, serta melindungi kelompok rentan,” ujarnya.
Acara yang ditutup dengan sesi diskusi interaktif bersama peserta ini diharapkan dapat menghasilkan butir-butir pemikiran dan rekomendasi akademis untuk disumbangkan kepada para pemangku kebijakan.







0 Komentar