Semarang — Kelompok Bidang Keahlian (KBK) Birokrasi dan Pemerintahan, Departemen Politik dan Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Diponegoro bekerja sama dengan Transparency International Indonesia (TI Indonesia) menggelar diskusi publik bertajuk “Demokrasi, Kebijakan, dan Masa Depan Ruang Sipil” pada Rabu, 26 November 2025, di Ruang Pusat Kegiatan Mahasiswa, Gedung D FISIP Undip. Acara yang berlangsung selama tiga jam ini menghadirkan sivitas akademik, masyarakat, serta jurnalis media massa, dan menjadi ajang diskusi kritis mengenai dinamika demokrasi dan tantangan ruang sipil di tahun pertama pemerintahan Prabowo Subianto.
Pada kesempatan ini, Dekan FISIP Undip, Dr. Drs. Teguh Yuwono, M.Pol.Admin, membuka acara dengan menegaskan pentingnya peran kampus sebagai ruang dialog akademik agar tetap relevan dengan perubahan zaman. “Diskusi seperti ini penting agar masyarakat, terutama mahasiswa, dapat membaca kondisi politik secara lebih jernih,” ujarnya.
Sesi diskusi dimulai dengan paparan Danang Widoyoko, Ph.D selaku Sekretaris Jenderal TI Indonesia, yang menekankan perlunya pendekatan baru dalam pemberantasan korupsi. Menurutnya, kita tidak bisa menerima, ketika para pejabat terus menerus menyuarakan statement antikorupsi, tetapi di saat bersamaan mengelola pemerintahan dengan menjalankan praktik partikularism terhadap proyek-proyek publik ke orang-orang sekitarnya. Karakteristik partikularism di antaranya distribusi barang publik berdasarkan keanggotaan kelompok atau koneksi, pengaruh dan status menjadi modal utama, dan korupsi bersifat sistemik yang diterima secara sosial.
Danang mencontohkan sejumlah kebijakan pada tahun pertama pemerintahan Prabowo yang dinilai rentan terhadap praktik partikularism. Program Makan Bergizi Gratis, misalnya, melibatkan banyak kader partai dalam implementasinya sehingga berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Ia juga menyinggung alokasi anggaran pertahanan yang sangat besar dengan mekanisme tender tertutup, yang menurutnya memberi peluang terjadinya pemburuan rente. Selain itu, pembentukan 80.000 Koperasi Merah Putih juga dianggap tumpang tindih dengan lembaga koperasi yang sudah ada, sehingga menimbulkan pertanyaan mengenai efektivitas serta motif dari kebijakan tersebut. “Pemerintah hari ini fokus pada penindakan korupsi melalui aparat hukum, tetapi tidak mendorong terjadinya norma baru dalam pemberantasan korupsi,” kata Danang.
Pembicara kedua, Dr. Kushandajani, M.S., dosen FISIP Undip, memberikan penekanan pada ruang sipil saat ini. Di tingkat praksis, ruang sipil belum sepenuhnya aman karena masih muncul ancaman berupa serangan digital, kriminalisasi, maupun tekanan politik terhadap kelompok masyarakat sipil. Kushandajani menilai bahwa demokrasi bukanlah tujuan akhir, melainkan proses panjang yang memerlukan komitmen menjaga kebebasan berpendapat dan partisipasi warga negara. Ia menekankan pentingnya pendidikan dan media sebagai penopang utama ruang sipil yang sehat dan kritis.
Sementara itu, Zakki Amali, Manajer Riset Trendasia.org, mengulas dinamika ekonomi-politik pada pemerintahan saat ini. Ia menyebut orientasi kebijakan ekonomi Indonesia cenderung kembali pada corak ekonomi komando dengan sentralisasi di tangan pemerintah pusat. Model tersebut, menurut Zakki, tidak menyentuh akar persoalan dan hanya menciptakan siklus legitimasi baru bagi kekuasaan. Ia melihat kebijakan pemerintah tidak jarang berfungsi sebagai alat pembenaran formal, dengan memberikan pengecualian tertentu yang membuka celah bagi elite politik. Zakki menilai bahwa tahun pertama pemerintahan Prabowo menggambarkan ambisi jangka pendek yang terfokus pada program Makan Bergizi Gratis dan penguatan militerisme. Menurutnya, arah kebijakan tersebut menunjukkan upaya membangun struktur kekuasaan baru yang menyerupai formasi lama ABG (ABRI, Birokrat, Golkar), kini melalui TNI, Badan Gizi Nasional, dan Gerindra.
Sesi diskusi publik menjadi lebih hangat ketika para peserta mengajukan pertanyaan mengenai berbagai persoalan yang terjadi akhir-akhir ini, seperti transparansi proyek kereta cepat Whoosh, potensi pembatasan ruang sipil oleh KUHAP, hingga bagaimana menghindari UU ITE yang sering menjerat para pengkritik pemerintah.
Diskusi publik ini ditutup dengan penegasan bahwa demokrasi Indonesia hanya dapat berkembang jika ruang sipil terus diperkuat dan masyarakat tetap kritis terhadap kebijakan negara. Acara berlangsung kondusif dan memberikan ruang refleksi bagi peserta untuk memahami tantangan demokrasi kontemporer, sekaligus menegaskan pentingnya masyarakat sipil dalam mendorong akuntabilitas dan transparansi pemerintahan di Indonesia.







0 Komentar