Seperti diketahui, rezim-rezim illiberal atau otoriter di Asia Tenggara saat ini memberlakukan berbagai hambatan yang membatasi (dan terkadang melarang) penelitian dan kerja lapangan tentang gerakan sosial di wilayah tersebut. Sebagai peneliti muda, kami menemukan bahwa isu-isu gerakan sosial di kawasan ini semakin krusial dari sebelumnya. Meskipun peneliti asing dan lokal memiliki hambatan yang berbeda, kami menyadari pentingnya bekerja sama untuk mengatasi tantangan-tantangan ini. Dalam semangat ini, kami menyelenggarakan Konferensi ALTERSEA perdana, pada tanggal 7-9 Juli 2021.
Acara konferensi yang disponsori oleh French Scientific Interest Group-Asia (GIS-Asie), French Institute of Indonesia (IFI), dan Southeast Asia Center (CASE, Paris) ini berhasil diselenggarakan dengan kerja sama dan dukungan dari sejumlah mitra lokal. Jaringan mitra ini termasuk Pusat Penelitian Media dan Demokrasi Lembaga LP3ES yang berbasis di Jakarta, organisasi non-pemerintah tertua untuk penelitian di Indonesia (1971); Departemen Ilmu Politik Universitas Diponegoro di Semarang (Jawa Tengah); kelompok Engaged Anthropology yang didirikan oleh antropolog senior Mary Racelis di Universitas Ateneo de Manila di Filipina; dan organisasi non-pemerintah SEA-Junction yang berbasis di Bangkok, dan didirikan oleh Rosalia Sciortino, seorang profesor di universitas Mahidol dan Chulalongkorn di Thailand.
Kami juga menerima bantuan dari dua lembaga penelitian di Malaysia dalam mendistribusikan pengumuman konferensi, yaitu Pondok Perancis, sebuah pusat kerjasama akademis dan ilmiah Prancis-Malaysia yang berbasis di Kuala Lumpur, dan UNESCO Chair of the National University of Malaysia. Di Prancis, pengumuman acara disebarluaskan oleh Association Française pour la Recherche sur l’Asie du Sud-Est (Afrase), yang menerima umpan balik yang sangat baik meskipun faktanya jaringan berbahasa Prancis masih asing dengan jenis inisiatif seperti pada tema ini.
Pada konferensi ini, pertama-tama, kami ingin menawarkan kesempatan kepada berbagai peneliti dan aktor lokal untuk mempresentasikan keragaman inisiatif di wilayah tersebut, seperti inisiatif solidaritas mikro-lokal untuk kelangsungan hidup di masa pandemi COVID-19, perlindungan lingkungan, dan perjuangan bersenjata untuk perlawanan terhadap pemaksaan militer dan penggulingan rezim yang opresif.
Kedua, kami memiliki tujuan untuk mendirikan sebuah platform yang aman dan permanen untuk pertemuan antara para peneliti yang berbeda, yang terkadang terisolasi di institusi mereka sendiri di Asia Tenggara (terutama di negara-negara yang paling ketat dalam tema mobilisasi sosial, seperti Kamboja, Laos, Myanmar, Vietnam dan di negara-negara yang tidak liberal dalam hal ini seperti Singapura dan Brunei Darussalam), dan juga untuk interaksi antara pusat-pusat penelitian yang bekerja dengan beragam isu terkait dengan gerakan sosial (di rezim yang lebih liberal seperti di Timor Leste, Indonesia, Malaysia, atau Filipina).
Konferensi perdana kami dihadiri 300 peserta yang mengikuti tiga belas sesi selama tiga hari melalui Zoom serta siaran langsung Facebook dan YouTube yang disampaikan secara luas oleh berbagai mitra observatorium. Para pembicara berasal dari sekitar tiga puluh institusi dan dua puluh negara dari seluruh dunia.
Seluruh sesi berlangsung dalam dua format: lokakarya (sembilan sesi yang telah disiapkan sebelumnya dan empat lokakarya yang diusulkan kepada penyelenggara). Sebagian besar sesi dipusatkan pada diskusi video yang telah direkam sebelumnya, tetapi karena membahas topik-topik yang sensitif, tiga sesi ( diskusi meja bundar tentang perlawanan masyarakat sipil di Myanmar dan sesi ganda tentang kekerasan massal dalam beberapa konteks nasional di Asia Tenggara) diadakan dengan presentasi langsung dan terkadang dilakukan secara anonim. Publikasi video-video tersebut di saluran YouTube ALTERSEA telah meningkatkan jumlah penonton kami selama beberapa bulan berikutnya (https://www.youtube.com/@altersea5502/featured).
Pada tanggal 3-4 November 2022, Konferensi ALTERSEA ke-2, “Engaging Research: Exploring Collaborations between Researchers, Activists, and Citizens,” diadakan dalam format Hybrid di Bangkok (Thailand), Paris (Perancis), dan Semarang (Indonesia). Konferensi ini bertujuan untuk menyatukan berbagai disiplin ilmu yang berbeda, dengan fokus pada keterlibatan dalam penelitian yang dilaksanakan melalui dialog lintas sektoral antara dunia akademis, praktisi, aktivis, dan masyarakat yang digerakkan untuk membela hak-hak sosial. Tema sentral ini dibahas melalui berbagai isu metodologis, etis, dan epistemologis, yang menimbulkan tantangan teoritis dan praktis: bagaimana kita dapat terlibat dalam kerja kolaboratif dengan kelompok-kelompok yang dimobilisasi dan dengan para praktisi, mendorong refleksifitas timbal balik sekaligus menjaga kebebasan ilmiah kita dengan memperhatikan jarak kritis baik dalam kerja lapangan maupun dalam pilihan difusi hasil? Haruskah kita menyeberang ke netralitas ilmiah ketika subjek penelitian dan kolaborator kita berada dalam bahaya di bawah pengawasan politik rezim? Salah satu contohnya adalah perdebatan seputar legitimasi dan keterwakilan pemerintah Burma di wilayah pengasingan.
Tantangan lainnya termasuk masalah keamanan bagi peserta penelitian di lapangan, para peneliti dan mitra diskusi lintas sektoral mereka, serta lembaga asal kami. Dengan demikian, beberapa mitra kami berbagi pengalaman mereka di bidang ini, menunjukkan kepada kita bahwa di luar implementasi perangkat yang cerdik, masalah keamanan terkadang mengharuskan kita membuat pilihan yang sulit dalam hal topik penelitian, format diseminasi, dan target audiens. Pekerjaan ini menantang kami tentang tanggung jawab peneliti sosial sebagai aktor publik.
ALTERSEA Observatory, yang didirikan pada tahun 2020, adalah wadah yang dinamis antara akademisi, militan dan aktivis, pembuat keputusan publik serta masyarakat umum yang terlibat dalam mobilisasi sosial dan kolektif. Anggota kami bekerja pada tiga tingkatan: etnografi kelompok sosial dalam situasi mobilisasi; pembukaan komparatif areal melalui dialog triangular antara para peneliti yang berkomitmen, aktivis yang terlibat, dan warga negara yang berkepentingan; pembukaan tematik dan interdisipliner di luar Asia Tenggara. Hingga saat ini, observatorium ini telah mengumpulkan lebih dari 65 peneliti dan komunitas ilmiah, termasuk beberapa spesialis yang paling dikenal dalam gerakan sosial di Asia Tenggara. Untuk berpartisipasi dalam kegiatan ini, kami mengundang para pembaca yang tertarik untuk menjadi anggota observatorium kami tanpa dipungut biaya apa pun. Untuk informasi lebih lanjut, silakan kunjungi situs web: https://altersea.hypotheses.org/.
Gabriel Facal
Salah satu pendiri ALTERSEA Observatory
Anggota asosiasi dari Southeast Asia Center (CASE), Paris
Gloria Truly Estrelita
Kandidat PhD di School for Advanced Studies in the Social Sciences (EHESS), Paris
Salah satu pendiri ALTERSEA Observatory
Spanduk: Manila, Filipina. Patung Oblation di Diliman, Quezon City adalah simbol ikonik dari University of the Philippines. lito_lakwatsero, Shutterstock
Sumber: kyotoreview.org
0 Komentar