“Jika kita mencermati teori terbaru dalam Ilmu Politik untuk menggambarkan situasi Indonesia saat ini maka kita akan bertemu dengan istilah oligarki. Konsep ini menunjuk pada segelintir orang yang begitu berkuasa sehingga mereka bisa menentukan semua keputusan politik bagi ratusan juta orang lainnya. Secara ekonomi, oligarki merujuk pada keadaan di mana sejumlah kecil elit menguasai sebagian besar kekayaan bangsa” ungkap Wijayanto, S.IP., M.Si., Ph.D. Dosen Departemen Politik dan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro, lulusan program doktor Leiden Institute for Area Studies, Leiden University.
Menurutnya oligarki melahirkan ketimpangan ekonomi dan kemiskinan. Ketimpangan ekonomi tinggi di masyarakat merupakan ancaman karena tidak hanya membahayakan kohesi sosial, tapi juga membahayakan stabilitas politik dan ekonomi. Dalam hal ini melihat bahwa ketimangan ekonomi terkait erat dengan korupsi.
“Ketimpangan ekonomi memberikan tempat berkembang biak yang subur untuk korupsi, yang pada gilirannya menyebabkan ketidaksetaraan lebih jauh. Tingkat korupsi yang makin tinggi melahirkan ketimpangan yang semakin membesar pula, yang membuat masyarakat terjebak dalam apa yang disebut dengan perangkap ketimpangan” terang Wijayanto.
Lebih lanjut ia menuturkan bahwa oligarki, ketimpangan ekonomi, korupsi dan klientelisme pada saat pemilu bukanlah masalah yang terpisah satu sama lain, namun sangat terkait satu dengan yang lain. Klientelisme adalah refleksi atas rendahnya kepercayaan masyarakat pada politik.
Menurutnya politik uang yang terjadi dalam pemilu adalah akar dari korupsi dan ketimpangan ekonomi. Elit politik melakukan korupsi untuk membiayai pemilu yang mahal sebagai akibat dari praktik membeli suara dalam pemilu. Sayangnya hari ini politik uang telah begitu marak terjadi bahkan dari pemilu ke pemilu praktik pembelian suara makin meningkat dan menghasilkan pemilu berbiaya mahal. Bahkan karena begitu maraknya politik uang, sampai-sampai dia menjadi sesuatu yang normal sehingga kita sulit membayangkan pemilu tanpa ada politik uang. Di sini, menurutnya, butuh keberanian, kreativitas dan imajinasi untuk menghentikan praktik politik uang, baik dari sisi elit, warga negara dan system hukum.
“Sebagaimana dituturkan oleh Ben Anderson, sebuah bangsa lahir karena ada sekelompok manusia yang meskipun tidak pernah bertemu satu sama lain, membayangkan diri mereka sebagai sama-sama bagian dari sebuah bangsa. Seratus, atau dua ratus tahun yang lalu ketika Nusantara masih berupa kerajaan yang terpisah, ide akan sebuah bangsa bernama Indonesia adalah imaji yang tampak seperti utopia. Namun, kini sebuah bangsa yang bernama Indonesia telah berusia hampir tiga perempat abad. Hari ini, imaji akan sebuah bangsa yang berkeadilan dan bebas dari oligarki, korupsi dan ketimpangan ekonomi itu mungkin tampak seperti utopia. Akan tetapi jika setiap warga negara telah memulai membayangkan hal itu secara bersama-sama hari ini, maka perwujudan akan imajinasi itu hanyalah masalah waktu. Semoga anak cucu kita kelak bisa menikmatinya” jelasnya.
Dalam presentasinya, Wijayanto juga menyampaikan tentang riset terbarunya mengenai pasukan siber dan manipulasi opini publik yang menjadi ancaman demokrasi di Asia Tenggara, hasil kerjasama dengan KITLV Leiden dan Universitas Amsterdam. Telah terjadi manipulasi opini publik dengan menggunakan propaganda di media sosial selama presiden 2019 serta pada serangkaian kebijakan bermasalah. Manipulasi ini dilakukan oleh tentara bayaran dunia maya atau yang biasa disebut sebagai buzzers. Dalam hal ini, dia menjelaskan bahaya manipulasi opini publik bagi demokrasi.
“ Informasi yang benar adalah laksana oksigen buat demokrasi. Hal ini karena dalam demokrasi kedaulatan ada di tangan setiap warga negara yang diandaikan rasional dalam mengambil keputusan politik, misalnya dalam memilih calon presien dalam pemilu, atau menolak atau mendukung kebijakan tertentu. Dasar dalam mengambil keputusan politik itu adalah informasi. Informasi yang benar akan menghasilkan keputusan politik yang benar. Informasi yang salah tentu akan menghasilkan keputusan politik yang juga salah. Maka ruang public yang penuh dengan informasi yang salah itu laksana gas beracun yang bisa membunuh demokrasi.” pungkasnya. (Lin-Humas)
Sumber: undip.ac.id
0 Komentar