Globatiksasi dan Desakralisasi Budaya: Tinjauan Dampak Globalisasi Terhadap Budaya

Agustus 19, 2013

 

Abstract

Globalization has been associated with a range of cultural consequences. These can be analysed by three thesis of globalization and culture. First, homogenization thesis; second, hybridization; and third, polarization. The homogenization theses stated that globalization makes culture become standardized to western or American pattern. Despite of the growth of American culture, described as Mcdonaldization the appear of local culture like Batik also a new phenomenon that comes in globalization recently. This phenomenon I called as globatikzation (globatiksasi). By describing culture as identity, this paper concludes that the appearenc of local culture into the global culture doesn’t mean emerging of cultural value and identity into global society. The globalization of local culture means that local culture becoming commercialized and converted into western globalization of economy.

Key Words: Globalization, Culture, Globatiksasi, Identity

 Dimuat Dalam Majalah Pengembangan Ilmu Sosial “Forum”, Vol. 40 – No. 2. Oktober 2012, ISSN 0126-0731

Pendahuluan

Salah satu isu yang sangat sering dibicarakan dalam lingkungan akademis Hubungan Internasional dewasa ini adalah isu seputar globalisasi.  Perbincangan terkait globalisasi sendiri kemudian dikaitkan dengan efek globalisasi terhadap berbagai isu strategis yang berkembang dalam konstelasi global. Salah satu topik strategis yang marak dibicarakan adalah efek dari globalisasi dengan kultur.

Globalisasi sering diidentikan dengan homogenisasi sosial, termasuk keseragaman dalam tataran kultur. Ritzer  (1993:19) menyebut homogenisasi tersebut dengan menggunakan istilah McDonaldisasi. Kalangan yang sering kali mengidentikan globalisasi sebagai “McDonaldisasi”  dan juga “Cocacolanisasi”  mengasumsikan bahwa kultur global ikut beriringan dengan perkembangan ekonomi global (Holton 2000). Berdsarakan asumsi tersebut maka kemajuan dalam globalisasi kemudian identic dengan Americanization atau westernization (Zakaria 2008:71).

Selama ini topic globalisasi dan kultur lebih sering mendiskusikan prihal homogenisasi budaya Barat (lihat Said 1978, Huntington 1996, Barber 1996, Friedman 2005). Globalisasi ternyata tidak hanya membawa persebaran nilai-nilai barat dan Amerika, namun juga membawa kultur local dan masuk ke dalam tataran global.  Salah satu contoh yang menarik adalah mengglobalnya batik yang merupakan kultur local Indonesia kemudian mampu mengglobal dan menjadi trend dunia.  Batik sendiri ditetapkan oleh UNESCO sebagai warisan budaya dunia (www.unesco.org 2009).

Paska ditetapkannya Batik sebagai warisan dunia keberadaan batik  juga mendapat perhatian publik dunia. Bahkan simbol-simbol budaya pop yakni dunia perfilman AS ikut menjadikan batik sebagai trend busana. Sejumlah artis Hollywood  pun dalam berbagai kesempatan juga mengenakan pakaian batik, walau dengan rancangan busana a la pop. Di Indonesia sendiri sebagai daerah asal Batik juga mendapatkan imbas positif dari mengglobalnya Batik.  Omzet penjualan Batik dari Indonesia pun mengalami penginkatan sebesar 20% (www.tempointeraktif.com 29/10/2009). Berdasarkan hal tersebut, muncul anggapan bahwa globalisasi  ternyata juga memberi keuntungan bagi budaya-budaya local seperti Batik.

Kondisi tersebut sekilas menunjukkan bahwa dalam globalisasi, budaya local justru mendapat  kesempatan untuk tumbuh diluar budaya  Amerikanisasi-barat. Namun, pertanyaannya kemudian, apakah globalisasi, memang memberikan jalan bagi budaya-budaya lokal seperti batik untuk menjadi lestrari dan mengglobal, atau justru globalisasi memberikan dampak negatif berupa desakralisasi kultur?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka pembahasan lebih diarahkan pada topic kajian globalisasi dan kultur. Kultur atau budaya menurut Said (1994:xiii) didefinisikan sebagai sumber dari identitas. Berdasrakan definisi tersebut maka budaya bukan hanya dinilai sebagai sebuah produk, namun juga identitas.

Dengan menggunakan pendekatan polarisasi budaya yang dikemukakan oleh Huntington (1993), Babrber (2002) dan Edwar Said (1979), serta konsep culture industry (Adorno&Max Horkheimer 2002:94). Maka tulisan ini mengangkat argumen bahwa globalisasi memang menjadikan budya local mendapat tempat dalam ruang global, namun dengan masuknya budaya local ke dalam ruang global justru memunculkan komersialisai budaya yang artinya mengakibatkan desakralisasi nilai budaya itu sendiri.

 

 

Kultur dan Identitas

Diskusi seputar globalisasi dan budaya sering kali menimbulkan perdebatan yang panjang. Hal ini terjadi dikarenakan sebenarnya masing-masing akademisi berdebat terkait konsep kebudayaan atau kultur yang berbeda. Oleh kerena itu dalam tulisan ini perlu dirumuskan terlebih dahulu konsep kultur yang dimaksud.

Berbicara terkait kultur, terdapat definisi kultur yang beragam.  Anthony D. King (2000:1) mendiefinisikan kultur sebagai atribut yang mendefinisikan suatu masyarakat. Artinya budaya merupakan bentuk anti thesis dari kondisi identik antara satu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat yang lain. Sementara  Edward W. Said (1994:xiii) menyatakan bahwa kultur adalah sumber dari identitas. Senada dengan Edward Said, Wallerstein (1991) berpendapat bahwa budaya adalah seperangkat karakteristik yang membedakan satu kelomppok dengan kelompok yang lain. Berdasarakan sejumlah konsep kultur diatas maka seberanya budaya itu sendiri bukanlah sekedar produk. Namun lebih tepatnya, budaya merupakan identitas suatu masyarakat.  Lebih lanjut kalangan atropolog seperti Clifford Geertz  juga mendefinisikan budaya sebagai sebuah identitas. Bahkan dalam karya monumentalnnya berjudul The Intepretation of Culture, Clifford Geertz (1973:4) mendefinisikan budaya sebagai sebuah jalan hidup (way of life ) suatu kelompok masyarakat.

Pendefinisian budaya sebagai sebuah identitas maka akan berkonsekuensi pada polarisasi budaya itu sendiri. Identitas sendiri dapat diartikan sebagai pembeda antara satu individu dengan individu yang lain (Maalouf 2003:10). Dalam tataran yang lebih luas, identitas pada wilayah komunal atau masyarakat merupakan bentuk pembeda antara satu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat yang lain. Budaya Jawa misalnya merupakan pembeda antara kelompok masyarakat yang memiiki identitas Jawa dengan kelompok masyarakat yang lain.

Bagi sebuah kelompok masyarakat seluruh produk dari masyarakat itu merupakan perwujudan dari budaya masyarakat itu, yang juga berfungsi sebagai identitas yang membedakan antara masyarakt tersebut dengan masyarakat yang lain. Sebagai contoh Budaya Jepang tidak bisa hanya didefinsiskan sebagai samurai, atau kimono semata. Samurai sendiri misalnya merupakan perwujudan spirit bangsa Jepang itu sendiri, demikian halnya dengan kimono. Oleh karenanya budaya tidak dapat hanya didefinisikan sebagai sebuah symbol.

Setelah didefinisikan makna kultur yang dimaksud dalam tulisan ini berikutnya dibahas pengaruh globalisasi terhadap budaya. Pembahasan akan diarahkan pada pemetaan jawaban akademisis terkait  pengaruh globalisasi terhadap budaya. Pemetaan tersebut sama halnya dengan pembahasan terkait budaya dan identitas, maka perlu didefinisikan dauhulu makan globalisasi yang dimaksud dalam tulisan ini.

Globalisasi dan Reinkarnasi Imperialisme

Hilbourne A. Watson dalam tulisannya yang berjudul Globalization as Capitalism in the Age of Electronics (Watson 2002), menyatakan bahwa globalisasi tak lain adalah kapitalisme dalam era kemajuan teknologi.  Dengan kata lain maka watson termasuk akademisi yang percaya bahwa gobalisasi sendiri bukanlah hal yang baru. Globalisasi adalah bentuk dari kapitalisme yang muncul di era kemajuan teknologi, yang disebut oleh watson dengan istilah “The Electronic Age”.

Senada dengan Watson, Robert O. Keohane & Joseph S. Nye Jr (2000)  menyatakan bahwa istilah globalisasi yang ada saat ini terutama yang muncul  pada dekade 1990-an merupakan isitilah yang merujuk pada peningkatakan dari globalisme.  Koehane dan Nye berargumen bahwa globalisasi telah berlangsung cukup lama, dan menurut mereka isu yang perlu diangkat bukan lagi seberapa lama globalisasi ini telah berlangsung namun lebih kepada seberapa  jauh tingkat ketebalan dari globalsasi itu sendiri.   Lebih lanjut kedua penulis tersebut menjelaskan bahwa globalisaasi kontemporer cenderung lebih tebal dibanding globalisasi masa lalu. Maksudnya globalisasi kekinian – merujuk istilah Thomas Friedman “Farther, Faster, deeper, and Cheaper”. Artinya praktek yang terjadi adalah sama yang berbeda adalah intensitas, volume, serta space yang digunakan.

Dua argumen diatas sangatlah tepat ketika disandingkan dengan karya Immanuel Wallerstein (2000) yang menyatakan bahwa globalisasi adalah suatu bentuk transisi dari apa yang terjadi di masa lalu. Menurut Wallerstein globalisasi tidaklah membawa konten yang secara substansial benar-benar baru, namun hanya membawa transisi dari yang telah terjadi masa lalu. Jika dahulu perpindahan barang dan manusia belum berlangsung secara cepat dan masiv, maka era globalisasi saat ini telah membawa suatu transisi dimana perpindahan dapat berlangsung begitu cepat dan masiv. Teknologi menjadi salah satu jawaban atas dimungkinkannya transisi tersebut.

Sebuah contoh menarik untuk menjelaskan fenomena globalisasi sebagai sebuah transisi adalah, jika kini telah dikenal jalur ekspor impor barang yang begitu luas antar benua maka sejak dahulu perpindahan barang seperti yang terjadi saat ini juga telah terjadi antar benua. Perpindahan trans benua tersbut terjadi melalui apa yang disebut jalur sutra, sebuah jalur yang menghubungkan antara Cina, Asia Tengah, Persia, Asia Barat, dan Eropa di abad ke-19. (Rossabi 2007). Yang membedakan adalah jenis barang yang mampu dipindahkan, kecepatan, serta jumlah barang yang berpindah.

Dari penjelasan beberapa akademisi diatas maka dapat dikatakan bahwa globalisasi adalah suatu era transisi dimana fenomena serupa telah terjadi beberapa abad silam. Jika dalam beberpa tulisan diatas dimuat fenomena perpindahan barang antar benua, beberapa bentuk transisi juga terjadi dalam meknisme ekonomi internasional. Jika pada abad ke-18 dunia mulai populer dengan istilah pasar bebeas dengan gagasan Leissez Faire Adam Smith dalam  The wealth of Nations nya  (1776) hingga kini pun asumsi-asusmsi pasar bebeas juga masih terjadi. (Skousen, 2001). Bahkan kini dapat berlangsung lebih  (menggunakanistilah Koehane dan Nye) tebal lagi. Kemjuan teknologi informasi memungkinkan perdagangan bebas tersebut berlangsung antar benua. Bedanya adalah kini kemajuan teknologi memungkinakn transaksi non-riil berlangsung lebih besar dan cepat. Oleh karenanya sangat tepat jika  Wallerstein (2000) menyebut globalisasi sebagai age of transition.

Kemudian pertanyannya jika memang gobalisasi adalah sutau bentuk teransisi yang telah terjadi di masa lalu maka apakah  fase awal yang mendahului globalisasi itu sendiri? Dari penelaahan argumen diatas para pemkir yang percaya bahwa gobalsasi adalah transisi – seperti Wallerstein (2000) menyebut bahwa kapitlasime adalah awal dari globalisasi. Asumsinya kapitalisme memungkinkan globalisasi itu sendiri terjadi. Tanpa kapitalisme globalisasi tidak akan tercipta. Hanya kapitlasime yang memungkinakan  terbukanya transaksi pasar global sebgai salah satu bentuk globalisasi. Hanya kapitalisme yang mampu mentransfer secara masif budaya dari satu benua dan peradaban ke benua dan peradabanyang lain (wallerstein 2000).

Pendapat menarik disampaikan oleh Mansour Fakih (2004) yang meyakini keberadaan globalisasi sebagai salah satu fase dari perjalanan panjang perkembangan kapitalisme liberal. Fakih menyebut bahwa globalisasi adalah kelanjutan dari kolonialisme dan developmentalism pasca Perang Dunia II. Bahkan Fakih (2004) telah mencurigai globalisasi  sebagai bungkus baru dari imperialisme dan kolonialisme.

Pendapat Fakih tersebut sejalan degan apa yang disamapaikan oleh Samir Amin (2001). Dalam ceramahnya pada pertemuan World Social Forum di Porto Alegre – Januari 2001, Amin  berargumen bahwa ada kaitan anatara globalisasi dan imperialisme. Namun yang menarik adalah Amin mengawali argumennya dengan mengatakan bahwa imperialisme bukanlah tingkat, bukan juga tingkat tertinggi dari kapitalisme (Amin 2001). Menurut Amin (2001) imperialisme secara alami melekat pada perluasan kapitalisme.

Dalam paparannya tersebut Amin (2001) menyebut bahwa terdapat tiga fase perluasan kapitalisme atau dengan kata lain praktek imperialisme itu sendiri. Pertama, adalah fase perluasan kapitalisme dengan praktek imperialisme di benua amerika. Fase ini merupakan fase merkantilis. Kedua, adalah fase revolusi industri dimana terjeadi perluasan imperialisme dengan praktek kolonialisme di asia dan afrika. Ketiga, adalah fase ketika terjadi perluasan imperialisme pasca perang dingin berakhir.  Praktek dan tujuan yang ada di fase ketiga ini tidak lah jauh berbea dengan fase-fase sebelumnya, yakni: mengontrol perluasan pasar, pengerukan hasil bumi, serta  ekspolitasi besar-besaran tenaga buruh di wilayah periphery (Amin, 2001).

Dalam setiap ketiga fase tersebut jika ditelaah lebih lanjut maka keberadaan setiap fase selalu diikuti dengan kerusakan yang luar biasa. Fase pertama diikuti dengan kerusakan serta pemusnahan suku indian di benua Amerika, fase kedua ditandai dengan penderitaan dan kehancuran masyarakat Asia Afrika. Pertanyannya bagaimana dengan fase ketiga? Fase ketiga juga tak jauh berbeda dengan fase pertama dan kedua. Sama-sama terjadi kerusakan dan penindasan yang dilakukan oleh negara – negara maju, bahkan akibat perkemabngan teknologi kerusakan yang diahasilkan pun juga lebih besar.

Merujuk pada dua seri buku fenomenal John Perkins , dalam kata pengantarnya di bukunya yang kedua “The Secret History of American Empire”  (2007) Perkins menjelaskan arti imperium itu sendiri.  Imperium didefinisikan sebagai negara-bangasa yang mendominasi negara-bangasa lainnya dan menunjukkan satu atau lebih ciri-ciri berikut : pertama, melakukan eksploitasi sumber daya dari negara yang didominasi; kedua, menguras sumber daya yang tidak proporsional dibanding dengan jumlah penduduknya; ketiga, memiliki kekeutan militer yang hebat dan akan digunakan jika upaya non militer gagal; keempat, melakukan praktek persebaran peradaban di seluruh wilayah pengaruhnya; kelima, menarik pajak bukan hanya dari warganya namun juga dari warga negara lain; keenam, mendorong penggunaan mata uangnya sendiri di negara-negara yang berada di bawah kendalinya.

Dari definisi diatas maka kesemuanya juga terjadi di era globalisasi kontemporer ini. Demikian juga telah terjadi di era globalisasi masa lalu. Jika merujuk pada pendapat Samir Amin maka praktek imperialisme tersebut terjadi dalam setiap fase dari ketiga fase imperialisme, dan dalam setiap fase globalisasi ikut membaur didalamnya.

Adalah tepat apa yang disampaikan Karl Marx beberapa abad sialam :

“This is the abolition ofthe capitalist mode of production within the capitalist mode of  production itself, and hence a self-abolishing contradiction, which presents itself prima facie as a mere point oftransition to a new form of production.”  (Karl Marx dalam Hardt&Negri, 2000)

 

Globalisasi merupakan saksi hidup dimana “transisi” kapitalisme dari model yang satu ke model yang lain terjadi. Kapitalisme dalam setiap transisi tersebut berbagai upaya termasuk konsep bermunculan.  Dahulu dikenal jalur sutera, kini dikenal  blok perdagangan global, dahulu dikenal kolonialisme, kini dikenal kerjasama internasional, dahulu dikenal imeprialisme kini dikenal globalisasi.

Oleh karenanya Jika sejumlah kalangan seperti Wallerstein (2000) dan Watson (2002) menyebut bahwa kapitalisme sebagai fase awal dari globalisasi, maka sebenarnya globalisasi sama halnya dengan imperialisme bukanlah suatu tahap, demikian juga bukan merupakan suatu tahapan tertinggi dari kapitalisme namun globalisasi telah melekat bersama dengan kapitalsme dan juga imperilisme. Atau dengan kata lain globalisasi adalah reinkarnasi dari imperialisme itu sendiri.

Tiga thesis globalisasi dan kultur

Jika globalisasi itu sendiri merupakan bentuk lain imperialisme, pertanyaannya berikutnya adalah, terkait relasi globalisasi dengan kultur.  Diskusi seputar pengaruh globalisasi terhadap budaya sendiri, setidaknya bisa diklasifikasikan kedalam tiga kelompok besar. Kelompok pertama, adalah kelompok homogenisasi yang mengasumsikan bahwa kultur global menjadi homogen dan terstandarisasi dengan model Barat atau Amerikanisasi (Friedman 2005, Ritzer 2003). Kelompok kedua, adalah pandangan yang mengasumsikan bahwa globalisasi menciptakan hibridisasi budaya, atau sinkretisasi budaya (lihat Ulf Hannerz 1992, Pieterse 2004).Kelompok ketiga, adalah kelompok polarisasi yang mengasumsikan bahwa globalisasi juga membawa budaya-budaya lokal yang melakukan perlawanan dan membentuk kutub sendiri di luar kutub barat atau Amerika (lihat Said 1993, Huntington 1996, dan Benjamin Barber 1996).

Kelompok pertama atau kelompok homogenisasi yang juga identik disebut sebagai kelompok McDonaldization. Ritzer (2003) menjelaskan bahwa McDonaldization merupakan perlambangan homogenisasi lingkungan sosial secara luas akibat keberadaan perusahaan multinasional.  McDonaldisasi sendiri merupakan istilah yang ditujukan pada meluasnya prinsip-prinsip restoran cepat saji a la Amerika di lingkungan masyrakat Amerika sendiri dan juga masyarakat di luar Amerika (Ritzer 1993). Prinsip-prinsip yang dimaksud adalah: efisiensi (pelayanan cepat), sesuai dengan perhitungan (cepat dan tidak mahal), terprediksi (tidak ada kejutan), serta control terhadap pegawai dan juga pelanggan. Globalisasi kemudian identic dengan mengglobalnya  prinsip-prinsip McDonaldisasi ini. Keberadaan McDonald sebagai restoran cepat saji kemudian menjadi ikon globalisasi yang dengan mengglobalnya McDonald tersebut, ternyata juga diikuti dengan mengglobalnya nilai-nilai fast-food Amerika.

Senada dengan Ritzer, Holton (2000) menjelaskan bahwa thesis kelompok homogenisasi identic dengan persebaran nilai dan keseragaman budaya.  Holton (2000) menambahkan kini keberadaan globalisasi mulai mendapat ikon-ikon baru, jika dulu McDonaldisasi menjadi symbol keseragaman dalam globalisasi, kini mulai digantikan dengan budaya internet interaktif seperti Yahoo!, Facebook, serta berebagai situs jejaring sosial lainnya.  Namun kelompok homogenisasi mulai dari McDonaldisasi maupun budaya internet interaktif menjelaskan bahwa globalisasi justru membawa pada homogenisasi budaya. Atau dengan keberadaan globalisasi maka sejatinya tengah terjadi persebaran nilai-nilai barat yang tercerminkan dalam budaya McDonald atau internet interaktif dan menggerus budaya-budaya lokal.

Asumsi kelompok homogenisasi sebenarnya dapat dikatakan overoptimistic terhadap ide budaya yang homogen.  Kini dunia pun tengah menyaksikan munculnya kultur-kultur di luar budya McDonald-Amerika. Perlu dibedakan konsep moderenitas dengan Barat itu sendiri.  Dalam beberapa decade kedepan tiga dari empat ekonomi terbesar dunia bukan justru bukan berasal dari barat (Jepang, Cina dan India).  Kasus jepang memberikan gambaran yang menarik terkait perbedaan antara modernitas dan kultur barat. Jepang sebagai sebuah Negara dikenal sangat modern. Dalam arti kemajuan teknologi-kereta super cepat, telepon seluler, serta robotic-Jepang dapat dikatakan jauh lebih canggih dan modern ketimbang barat sendiri. Namun dalam hal penyikapan masyarakt Jepang terhadap outsider, lebih khusus pengunjung dari masyarakat Barat, kebanyakan masyarakat Jepang masih mengganggap mereka sebagai asing dan bukan bagian dari mereka (Zakaria 2008:73-77). Di Eropa pun, culture Amerika masih dainggap sebaagai budaya “koboi” yang aneh. Dalam kasus jepang dan Eropa, globalisasi meski membawa budaya Amerika dalam globalisasi ekonomi dan tekonlogi tetap saja mendapat resistensi budaya yang cukup tinggi.

Argumen kelompok homogenisasi kemudian banyak mendapat tentangan dari kelompok kedua, yakni kelompok hibridisasi.  Kelompok hibridisasi mengasumsikan bahwa globalisasi sebagai hibridisasi budaya. Pieterse (2009:54) menjelaskan bahwa dampak globalisasi  terhadap budaya adalah memunculkan hibridisasi atau percampuran budaya. Hibridisai dapat juga diartikan sebagai sinkretisme, kreolisasi, serta persinggungan (croseover).  Dalam kasus mengglobalnya budaya lokal kemudian masuk kedalam skema budaya global penulis menyebut fenomena ini sebagai globatiksasi.

Fenomena globatiksasi ini namapaknya bagi sebagian kalangan dapat dianggap menguatkan argumen kalangan hibridisasi. Artinya batik telah mengalami hibridisasi dan kemudian bangkit dan mampu membaur dengan budaya trend global yang ada. Kalau dulu batik identik dengan gaya hidup lokal Jawa seperti jarit, kebaya dan kemben, kini Batik pun muncul dengan berbagai kreasi busana, dan bahkan update dengan gaya hidup “modern” budaya pop.

Tidak heran kemudian jika kini dapat dijumpai aktris Hollywood berpose bangga dengan mengenakan Batik motif Parang khas Jawa Tengah dikombinasikan dengan rok mini dan sepatu boot tinggi se lutut. Kedepan juga tidak menutup kemungkinan dapat disaksikan tang top dan bikini dengan menggunakan batik sebgai motifnya. Kesemua itu merupakan bentuk hibridisasi atau sinkretisasi batik dengan budaya pop yang sedang menjadi mainstream dalam globalisasi.

Namun pendekatan hibridisasi ini memang tepat jika kultur hanya dimaknai sebagai produk atau symbol semata. Namun ketika kultur dimaknai sebagai identitas sebagaimana yang telah disampaikan sebelumnya, maka argumen bahwa globalisasi menjadikan budaya mengalami hibridisasi dapat dikatakan kurang tepat.

Pendefinisian kultur sebagai identitas kemudian diadopsi oleh kelompok ketiga, Pieterse menyebut kelompok ketiga ini sebagai kelompok “Clash of civilization”. Argumen kelompok ini berawal dari thesis Huntingtonian terkait ide benturan antar peradaban (Pieterse 2009:43-44). Menurut kalangan ini justru dengan adanya globalisasi justru memicu terciptanya benturan antar peradaban.

            Konsekuensi dari keberadaan benturan antar peradaban, maka artinya peradaban tidaklah homogen. Atau dengan kata lain, dengan adanya globalisasi maka muncul polar-polar ataukutub-kutub baru yang kemudian menjadi episentrum konflik baru paska berakhirnya Perang Dingin. …With the end of the Cold War, international politics moves out of its Western phase, and its centerpiece becomes the interaction between the West and non-Western civilizations and among non-Western civilizations.” (Huntington 1993).

Globalisasi yang juga identik dengan kemajuan teknologi informasi ternyata dapat dengan mudah digunakan sebagai sarana untuk memunculkan semangat lokalitas, baik dalam tataran etnis, bangsa, serta budaya.  Keberadaan globalisai teknologi informasi justru digunakan oleh kelompok etnis yang terdiaspora sebagai sarana untuk melakukan Long Distance Nationalism (Anderson 1998:58-74). Artinya memang meski dalam globalisasi terjadi perpindahan manusia dan barang dalam globalisasi ekonomi namun budaya ternyata lebih sulit untuk mengalami globalisasi atau homogenisasi seperti argumen  yang disampaikn oleh kelompok homogenisasi (Holton 2000).

Thesis polarisai budaya dalam globalisasi sebenarnya telah memiliki akar yang panjang ketika Edward Said dating dengan magnum opusnya Orientalism (1979) dan mendefinisikan konsep dikotomi budaya kedalam dua kubu, barat dan timur.  Said (1979) menjelaskan bahwa pandangan dikotomi budya tersebut mengakibatkan munculnya orientalisme yang mempresepsikan pendekatan “we” dan “the others”.

Melalui Orientalisme, Edward Said (1979:8) ingin mengilustrasikan bagaimana representasi Eropa terhadap kebudayaan Timur sebagai wilayah jajahannya telah terinstitusionalisasi setidaknya sejak abad ke-18 sebagai manifestasi dari dominasi kultural Barat terhadap Timur. Menurut Said melalui studi kajian Orientalisme dapat ditelusuri bagaimana berbagai institusi, disiplin akademik, proses-proses investigasi dari berbagai macam sistem pemikiran tumbuh dan berkembang dalam ruang publik intelektual Eropa sebagai bagian dari politik pendefinisian Eropa untuk mengetahui tentang Oriental-Timur dan proyek akademik itu berhubungan erat dengan konsolidasi imperialisme Eropa yang mencapai puncaknya di abad ke-19. Konsepsi Barat misalnya, dalam memandang dunia Islam-Timur Tengah sebagai oriental yang stagnan, tidak berubah, erotis bahakan cenderung otoriter serta penggambaran budaya barat sebagai dinamis, innovator, rasional dan toleran telah mengakar cukup lama dalam benak dunia Barat (Said 1979:49). Berdasarkan pendekatan orientalisme itu sendiri dapat disimpulkan bahwa sebenarnya homogenisasi budaya itu pun akan sulit terjadi. Karena pada faktanya diferensiasi budaya selalu terjadi. Di sisi lain, keberadaan konsepsi orientalisme juga membantah pandangan hibridisasi budaya. Karena buday disini diartikan sebagai identitas, yang khas dan menjadi diferensiasi dengan kelompok identitas yang lain.

Lebih lanjut polarisasi budaya dalam globalisasi digambarkan oleh Benjamin R. Barber dengan term Jihad Vs McWorld (1996).  Terma tersebut mencerminkan konflik antara konsumerisme dalam wadah kapitalisme global dengan fundamentalisme yang memperjuangkan keadilan dan tribalisme (Barber 1996:xviii-xvix). sekali lagi kondisi ini menunjukkan sekalipun globalisasi menghasilkan persebaran teknologi, arus barang, serta ekonomi pasar, ternyata homogenisasi dan hibridisasi  budaya sulit untuk tercipta.

Globatiksasi Vs McDonaldisasi: Komersilaisasi budaya dan deskralisasi nilai batik

Fenomena globatiksasi yang didefinisikan sebagai mengglobalnya budaya-budaya lokal memang diambil dari kasus kain batik yang merupakan budaya lokal dari Jawa dan kemudian mampu mengglobal dalam tataran dunia. Namun apkah hal ini sama dengan konsep McDonaldisasi yang merepresentasikan mendunianya nilai-nilai restoran cepat saji seperti McDonald?

Konsep McDonaldisasi menggambarkan mengglobalnya buday instan, efisiensi, serta kontrol ketat terhadap produk.  Konsep McDonaldisasi bukan hanya sekedar keberadaan gerai-gerai restoran McDonald semata, namun justru yang lebih penting dengan mngglobalnya McDonald sebagai sebuah produk Amerikanisasi juga diikuti dengan persebaran nilai-nilai yang mencerminkan identitas budaya pop amerika yakni serba instan, serba cepat, serba terkalkulatif, serta control yang ketat terhadap produk. Paska berkembangnya McDonald kemudian berkembang pula di berbagai wilayah dunia model-model penjualan makanan yang identic dengan konsep McDonald.

Sebaliknya dalam kasus globatiksasi, budaya-budaya lokal yang mengglobal ternyata tidak diikuti dengan eksport nilai serta identitas dalam budaya lokal tersebut.   Jika kita merujuk pada definsi kultur yang bukan hanya sekedar symbol atau produk, maka globatiksasi justru merupakan bentuk langsung desakralisasi budaya dalam globalisasi.

Ada dua alasan globatiksasi justru merupakan bentuk desakralisasi budaya: Pertama, masuknya produk budaya lokal keranah global tidak akan dapat terjadi ketika globalisasi budaya tersebut tidak sejalan dengan globalisasi ekonomi. Dengan kata lain mengglobalnya suatu budaya tentu harus diikuti dengan komersialisasi symbol budaya itu sendiri.  Atau dengan kata lain globalisasi justru menciptakan Culture Industry atau Industri Budaya (Adorno 2001,2002). Melalui culture industry, syarat budaya agar dapat diterima secara global haruslah marketable. Artinya tidak mungkin batik sebagai budaya lokal bisa mengglobal ketika batik tidak mampu diserap oleh pasar secara global. Konsekuensinya secara positif memang akan meningkatakan permintaan pasar akan kain batik, yang berarti mensuport kantong ekonomi Indonesia. Namun peningkatan ini sebenarnya hanya bentuk komersialisasi batik, atau dengan kata lain memasukkan batik dalam jaring kapitalisme global, yang artinya  batik hanya dinilai  sebagai sebuah komoditas. Sayangnya komoditasisasi batik tersebut tidak diikuti juga dengan eksport dan pelestarian batik sebagai sebuah   nilai dan identitas.

Kedua, komersialisasi budaya pada gilirannya hanya mereduksi nilai dari budaya itu sendiri, yang semestinya budaya adalah identitas, bahkan visi kehidupan kemudian diturunkan menjadi hanya sekedar materi.  Globatiksasi dalam kasus batik msialnya, saat ini justru mencerminkan desakralisasi batik dikarenakan terjadi reduksi nilai batik  menjadi sebatas materi semata.  Padahal, batik sendiri mengandung nilai yang mendalam terkait kehidupan masyarakat jawa.  Sejak kecil ibu-ibu di Jawa biasa menggendong anak mereka yang baru lahir dengan kain batik, yang lembut dan bermotif ceria. Ini berarti diharapakan sang anak dikemudian hari dapat tumbuh dengan ceria dan penuh kasih sayang. Pasangan yang menikah pun  mengenakan kain jarik dengan motif  Sido Mukti dan Truntum. Sido mukti artinya diharapakan pasangan yang menikah dapat hidup bahagia dan berkecukupan, sedangkan truntum yang berarti menuntun diharapkan dalam pernikahan orang tua juga dapat menuntun anaknya untuk mengarungi rumah tangga yang baru. Dengan kata lain, batik sejatinya bukan hanya materi benda hasil budaya, tapi juga budaya itu sendiri, bahkan identitas dan juga jalan hidup.

 

Kesimpulan.

Berdasarkan penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam globalisasi fenomena masuknya budaya lokal kedalam ranah global atau yang penulis sebut sebagai globatiksasi memang mungkin terjadi. Namun hal ini bukan berarti mencerminkan hibridisasi budaya. Masuknya budaya lokal tidak dapat dilepaskan dari kultru komersialisme dalam globalisasi.

Kultur sendiri yang diidentifikasi sebagai sebuah identitas, dalam praktek globalisasi ternyata justru tidak ikut mengglobal. Identitas lokal justru tercerabut dari akar budaya. budaya kemudian menjadi kosong dan hanya jatuh pada terma komoditas atau produk semata.

Tercerabutnya identitas lokal dalam budaya yang mengglobal justru adalah bentuk desakralisai dari budaya itu sendiri. Berbeda dengan McDonaldisasi,  kasus Globatiksasi ternyata sering kali tidak diikuti dengan tersebarnya nilai dan identitas dari budaya itu sendiri.

Tidak menutup kemungkinan kedepan globalisasi memberikan ruang bagi  tumbuhnya budaya-budaya lokal kemudian berkonstelasi dalam tataran global. Namun sering kali globalisasi yang merupakan reinkarnasi dari imperialism itu sendri menyediakan pula paket kultur global. Dengan kata lain globatiksasi-globatiksasi berikutnya mungkin sekali terjadi, namun dengan syarat reduksi budaya hanya sebagai sekedar produk dan komoditas.

Nilai yang mesti diambil adalah memang realitasnya kita tengah menyaksiskan fenomena globatiksasi, namun, tetap jangan overoptimistic, dan lupa bahwa kultur adalah nilai. Kita mesti belajar dari barat bagaimana mampu mengekspor McDonald dan Coca Cola secara sukses kepenjuru dunia. Barat, melalui McDonaldisasi dan Coca Colanisasi bukan hanya mengekspor  produk ayam goreng, burger atau minuman kola namun nilai dan way of life instant a la Amerika.

Batik sendiri  berasal dari gabungan dua kata dalam bahasa jawa, amba dan nitik. Dari padanan nama pun batik mengandung pandangan hidup masyarakat Jawa yang sabar, teliti, dan harmoni menuju kesempurnaan. Pertanyaannya kemudian apakah kita mampu membawa globatiksasi menjadi Mcdonaldisasi jilid dua, atau malah merelakan globatiksasi berujung pada desakralisasi batik?

Referensi

Adorno, Theodore W. & Max Horkheimer. 2002. Dialectic of Enlightment: Philosophical Fragment. California: Stanford University Press.

Amin, Samir. 2001. “Imperialisme and Globalization” Monthly Review. Vol. 53 No. 2. New York : Monthly Review Press.

Anderson, Benedict. (1998) “Long Distance Nationalism”. In The Spectre of Comparisons: Nationalism, Southeast Asia and the World. London: Verso

Anthony D. King. 2000. Culture, Globalization and The World-System: Contemporary Conditions for The Representation of Identity. Minneapolis. Univ. Of Minnesota Press.

Barber, Benjamin. 1996. Jihad Vs McWorld. New York: Random House. Inc.

Fakih, Mansour. 2004. Neoliberalisme dan Globalisasi. Insist Pers.

Friedman, Thomas L. 2005. The World is Flat: A Brief History of Twenty-first Century. New York: Farrar, Straus and Giroux.

Hardt, M & Negri, A. 2000. Empire. London : Harvard University Press.

Said, Edward. 1979. Orientalism. New York: Vintage.

___________. 1994. Culture and imperialism. New York: Vintage.

Holton, Robert. 2000. Globalization Culture’s consequences. Annals of the American Academy of Political and Social Science. Vol. 570., Dimensions of Globalization. (Jul.,2000). Sage Publication, Inc.

Huntington, Samuel P. 1991.  The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth. New York: University of Oklahoma Press.

———. “The Clash of Civilizations.” Foreign Affairs 72, no. 3 (1993).

Koehane, O. Robert & Nye, S. Joseph. 2000. “Globalization : What’s New? Whats’s Not? (And So What?)” Foreign Policy, No. 118 (Spring, 2000). Carnegie Endowment for International Peace.

Maalouf, Amin. 2003. In the Name of Identity. London: Penguin Book

Perkins, John. 2007. Pengakuan Bandit Ekonomi Kelanjutan Kisah Petualangannya di Indonesia & negara Dunia Ketiga. Terjemahan. Jakarta : Ufuk Press

Piterse, Jan Nederveen. 2009. Globalization and Culture: Global Melange (2nd ed.). Maryland: Rowan & Littlefield Publisher, Inc.

Ritzer, George.  1993. The McDonaldization Society.London: Sage.

_____________, Rethinking Globalization: Glocalization/Grobalization and Something/Nothing Sociological Theory, Vol. 21, No. 3 (Sep., 2003). American Sociological Association

Skousen, Mark. 2006. Teori-Teori Ekonomi Modern : Sejarah Pemikiran Ekonomi. Jakarta : Prenada.

Tempo Interaktif. 2009. (online). dalam (http://www.tempointeraktif.com/hg/bisnis/2009/10/29 /brk,20091029-205162,id.html). [diakses 11 Mei 2010]

UNESCO. 2009. Indonesia Batik. (online).dalam (http://www.unesco.org/culture/ich/RL/00170). [diakses 11 Mei 2010]

Watson, A. Hilbourne. 2002. “Globalization as Capitalism in the Age of Electronics : Issues of Popular Power, Culture, Revolution, and Globalization from Below” Latin American Perspetives. Issue 127. Vol.29 No. 6 November 2002.

Wallerstein, Imanuel. 2000. “Globalization or the Age of Transition? A long Term View of the Trajectory of the World – System” International Sociology,  June 2000 Vol. 15(2)

Zakaria, Fareed. 2008. The Post American World. New York: W. W. Norton & Company, Inc.

–FW–

 

 

@Government Studies News

Persyaratan Pendaftaran Wisuda

Persyaratan Pendaftaran Wisuda

Persyaratan perpustakaan untuk pendaftaran wisuda: Mengumpulkan Hard skripsi ,CD (berisi File skripsi sesuai format)...

0 Komentar

Tinggalkan Balasan