Manipulasi opini publik dengan memanfaatkan sentimen identitas di media sosial tidak hanya terjadi pada pelemahan KPK, tetapi juga Pilpres 2019. Sangat mungkin pola yang sama juga akan dipraktikkan dalam Pemilu 2024.
Oleh Wijayanto
Survei Kompas yang dipublikasi harian Kompas pada 27 Maret 2023 menunjukkan semakin menurunnya kepercayaan publik terhadap lembaga yang lahir sebagai anak kandung reformasi, termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Citra KPK yang pernah mencapai titik puncak pada Januari 2015 sebesar 88,5 persen menurun siginifikan menjadi hanya 52,1 persen pada Maret 2023.
Dalam grafik hasil survei yang dipublikasikan Kompas tersebut tampak bahwa tren penurunan siginifikan terutama terjadi setelah tahun 2019, pascarevisi undang-undang yang mengatur lembaga antirasuah ini. Catatan ini semakin menambah warna muram setelah rilis Transparansi Internasional (TI) tentang merosotnya Indeks Persepsi Korupsi Indonesia menuju di angka 34 pada tahun 2022. Situasi ini seakan membenarkan ramalan berbagai pengamat dan kekhawatiran di kalangan aktivis antikorupsi bahwa revisi UU akan melemahkan KPK dan sekaligus upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Tulisan ini bukan hendak membahas mengapa dan bagaimana kewenangan KPK semakin melamah pascarevisi, yang telah banyak dibahas, tetapi tentang bagaimana manipulasi opini di media sosial yang dilakukan oleh pasukan siber untuk membangun dukungan (manufacturing consent) atas kebijakan revisi UU KPK terjadi pada saat itu. Hal ini seperti ditemukan dalam penelitian yang dilakukan atas kerja sama LP3ES, Universitas Diponegoro, KITLV Leiden, Universitas Amsterdam, dan Drone Emprit dari tahun 2020 hingga 2022.
Cara kerja pasukan siber
Dalam penelitian kami, pasukan siber dapat didefinsikan sebagai jaringan pendengung (buzzers), pemengaruh (influencers), koordinator, dan pembuat konten yang bekerja sama untuk memengaruhi opini publik di media sosial. Penelitan kami menemukan bahwa seluruh lapisan pasukan siber mendapatkan imbalan materi, kecuali pesohor.
Secara ringkas dapat dijelaskan bahwa buzzer adalah pasukan di garis terdepan yang umumnya memakai akun samaran yang bertugas memviralkan satu narasi tertentu. Kadang mereka mengunggah konten, kadang pula mereka me-retweet (atau membalas) cuitan dari seorang influencer (pesohor). Sementara itu, pembuatan konten adalah bagian dari pasukan yang bertugas menyiapkan materi, meme, dan tagar yang disebarluaskan pendengung.
Menggunakan pengetahuan dan intuisi mereka tentang politik dan pembentukan opini publik, mereka dapat memprakirakan jenis unggahan seperti apa akan berhasil viral. Baik pendengung maupun pembuat konten ini direkrut oleh seorang koordinator yang berhubungan dengan ‘klien’ yang mendanai kegiatan pasukan siber. Sementara itu, pesohor adalah orang-orang yang menggunakan akun mereka sendiri untuk mendukung kebijakan politik tertentu karena pertimbangan idealisme.
Bagaimana cara kerja pasukan siber dalam melakukan manipulasi opini publik untuk mendukung revisi UU KPK pada 17 September 2019? Penelitian kami menemukan sekurangnya tiga ciri propaganda media sosial yang saat itu berlangsung.
Pertama, ada gelombang tsunami percakapan di media sosial menjelang pengesahan suatu kebijakan dengan volume yang sangat besar yang ada di luar kewajaran. Pantauan riset kami menunjukkan bahwa pada 10-17 September 2019 terdapat lebih dari setengah juta percakapan di berbagai platform media sosial terutama Twitter.
Setengah juta percakapan tentang satu topik dalam tempo yang demikian singkat tentu bukanlah suatu hal yang lumrah. Terlebih, tsunami percakapan itu untuk satu isu yang cukup berat: revisi undang-undang. Ini berbeda, misalnya, dengan kasus yang menimpa artis yang relatif diikuti oleh berbagai lapisan masyarakat.
Upaya untuk memviralkan konten itu dilakukan dengan cara-cara lain yang tak wajar seperti misalnya adanya kuis “GiveAway”.
Kedua, ada satu upaya kreasi konten secara sengaja di media sosial yang diiringi dengan diseminasi secara masif agar menjadi viral dan trending topic. Menjelang revisi UU KPK, tampak viral berbagai unggahan di media sosial dalam wujud meme, gambar, ataupun tagar.
Upaya untuk memviralkan konten itu dilakukan dengan cara-cara lain yang tak wajar seperti misalnya adanya kuis “GiveAway” di mana warga maya akan mendapatkan pulsa Rp 50.000 untuk dua orang yang mau membuat status apa saja, tetapi dengan tagar #KPKPATUHAturan. Hal ini untuk memberikan tekanan kepada KPK yang para komisionernya menolak revisi untuk mematuhi revisi yang ada. Dalam hal ini kuis ini terbukti berhasil karena tagar #KPKPATUHAturan dikicaukan sebanyak 18.043 kali.
Ketiga, terdapat penggunaan politik identitas untuk menarik sentimen publik. Masih segar dalam ingatan kita salah satu konten yang saat itu viral adalah gambar struktur organisasi yang menerangkan bagaimana keterkaitan sebagian penyidik dan komisioner KPK dengan organisasi Taliban. Gambar sedemikian canggih tentu membutuhkan ahli untuk memproduksinya.
Pada hari-hari itu, Twitter juga dipenuhi oleh tagar berbunyi #KPKdanTaliban. Pantauan riset kami menunjukkan bahwa terdapat 16.521 cuitan yang menggunakan tagar itu. Tujuannya jelas untuk menggiring opini publik seakan KPK adalah sarang dari kelompok radikal Islam tak pernah terbukti hingga hari ini.
Sentimen identitas sebagai pemantik
Dari berbagai pola di atas, tampaknya penggunaan isu identitas menjadi faktor pemantik yang paling kuat memengaruhi opini publik. Ong dan Cabanes (2020) mencatat bahwa propaganda media sosial akan bisa memengaruhi opini publik manakala ia beresonansi dengan isu dan aspirasi sosial masyarakat, terutama yang tidak cukup diakui dan disinggung oleh media arus utama.
Uraian kedua sarjana tersebut menjadi relevan dengan situasi Indonesia di mana elite politik telah menggunakan sentimen berbasis identitas agama dalam tiga pemilu: Pemilu 2014, Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017, dan Pemilu 2019 yang sukses melahirkan polarisai politik. Selama sekurangnya lima tahun terakhir, berbagai ilmuwan politik telah memberikan peringatan atas ancaman polarisasi politik ini. Polarisasi politik berbasis identitas dapat menimbulkan sejumlah dampak negatif terhadap pemerintahan demokratis, termasuk erosi lembaga dan norma demokrasi, selain memperdalam perpecahan sosial.
Di Indonesia, polarisasi politik berbasis identitas itu telah juga melahirkan pembelahan di media sosial dalam sebutan peyoratif: cebong dan kampret, dan kemudian juga kadrun. Jika cebong merujuk kepada kelompok yang mendukung pemerintah, kampret atau kadrun merujuk kepada kelompok Islam garis keras yang selalu mencurigai apa pun yang dilakukan pemerintah.
Dalam situasi polarisasi politik afektif, politik sudah tidak lagi sekadar perebutan kekuasaan, tetapi juga emosi dan hasrat untuk memenuhi ego bahkan keberlangsungan hidup. Pelabelan peyoratif yang menggunakan nama binatang yang berlangsung di Indonesia menunjukkan kebenaran teori itu. Di sini, pembelahan antara kami (us) dan mereka (them) mencapai titik yang sangat ekstrem. Dalam keadaan seperti ini, penilaian benar atau salah bukan lagi tentang fakta atau bukti, melainkan lebih tentang apakah ia didalilkan oleh kelompok kami atau kelompok mereka.
Di sini kita mengerti mengapa propaganda keberadaan Taliban atau kelompok Islam garis keras di dalam KPK berhasil. Dalam temuan penelitian kami, tagar KPK dan Taliban telah berhasil memengaruhi agenda setting media arus utama yang mengamplifikasinya dalam 250 lebih pemberitaan.
Lebih dari itu, patut diduga bahwa pelabelan Islam garis keras itu juga memengaruhi sentimen publik secara umum. Survei yang dimuat di harian Kompas pada 16 September 2019 menemukan bahwa mayoritas publik (44,9 persen) mendukung revisi UU KPK jauh lebih tinggi daripada mereka yang menolaknya (39,9 persen).
Sejak kelahirannya, KPK telah mengalami berbagai upaya pelemahan dalam berbagai bentuk: peninjaun kembali sebagian pasal atau seluruh undang-undang KPK ke Mahkamah Konstitusi, hak angket DPR yang keluar tidak lama setelah lembaga antirasuah itu mengusut kasus korupsi KTP elektronik, hingga kriminalisasi para anggotanya yang melahirkan kasus Cicak vs Buaya Jilid I, II, dan III. Bahkan, revisi UU KPK juga telah berkali-kali coba dilakukan. Percobaan revisi itu pertama kali terjadi pada 2010, yang kemudian kembali berulang pada 2012, 2015, dan 2017.
Di berbagai negara, manipulasi opini publik yang memproduksi beragam disinformasi telah terbukti mengancam kualitas demokrasi.
Namun, pada tahun-tahun itu kepercayaan kepada KPK masih sangat tinggi dan setiap upaya pelemahan KPK selalu mendapat tentangan publik. Baru pada 2019 revisi UU KPK mendapat dukungan publik demikian besar. Di sini polarisasi afektif yang muncul karena sentimen identitas telah mengaburkan fakta bahwa lembaga antirasuah itu memiliki kinerja yang sangat baik dalam upaya pemberantasan korupsi.
Penelitian yang kami lakukan menunjukkan bahwa manipulasi opini publik dengan memanfaatkan sentimen identitas di media sosial tidak hanya terjadi pada pelemahan KPK, tetapi juga Pemilu Presiden 2019. Sangat mungkin pola yang sama juga akan dipraktikkan dalam Pemilu 2024. Di sini, mengenali pola manipulasi opini publik menjadi penting untuk meningkatkan kewaspadaan kita. Di berbagai negara, manipulasi opini publik yang memproduksi beragam disinformasi telah terbukti mengancam kualitas demokrasi.
(Wijayanto, Pengajar Politik Digital dan Demokrasi di Universitas Diponegoro; Direktur Pusat Media dan Demokrasi di Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi Sosial (LP3ES); Ketua Presidium Koalisi Masyarakat Sipil Nasional untuk Demokratisasi dan Moderasi Dunia Siber Indonesia (Koalisi Damai))
Sumber : kompas.id
Editor : YOVITA ARIKA
0 Komentar
Trackbacks/Pingbacks